
Komisaris Komnas HAM Siane Indriani menyatakan bahwa setelah melakukan investigasinya di Kabupaten Tulungagung dan Lamongan, Komnas HAM telah menemukan fakta bahwa Densus 88 Anti Teror menembak tersangka ketika mereka sudah dianggap tidak berbahaya.
"Kami menyesalkan pembunuhan yang dilakukan oleh polisi dan ini bukan pertama kalinya terjadi." kata Siane.
Siane menambahkan bahwa insiden ini lebih dari pelanggaran hak asasi manusia, Perlakuan kasar ini memperburuk masalah dan berpotensi menyebabkan korban keluarga dan kerabat yang akan menjadi trauma yang pada akhirnya berkeinginan ingin membalas dendam.
Komnas HAM, menurut Siane, telah memperingatkan kepada polisi berkali-kali untuk menangani kasus terorisme dengan hati-hati. "Kami tidak membenarkan terorisme, namun pemberantasan perlu diprioritaskan tindakan preventif dan menghormati aturan hukum, bukan menembak mati" katanya.
Siane menemukan banyak penyimpangan yang berkaitan dengan penembakan. Menurut pengacaranya, kedua tersangka baru saja turun dari sepeda ketika mereka disergap oleh 10 anggota Densus 88 Anti Teror serta menghujani tersangka dengan peluru.
"Rizal salah satu tersangka yang ditembak di dadanya yang mencoba melarikan diri tapi ditembak lagi sampai ia meninggal di tempat kejadian. Sementara Dayah ditembak dikepala di depan sebuah rumah di belakang halte bus. Proses penyergapan hanya berlangsung sekitar 7 menit." Jelas Siane.
Siane juga mempertanyakan insiden di mana Densus 88 Anti Teror menangkap orang yang salah. Dia berpendapat bahwa pengawasan canggih yang dimiliki oleh Kepolisian seharusnya mampu mengidentifikasi apakah seseorang itu teroris atau tidak.
Ada juga perbedaan antara data korban yang dikumpulkan oleh Komnas Ham dan BNPT (Badan Nasional Anti-Terorisme). Mantan teroris menunjukkan sekitar 110 tersangka ditembak mati kemudian pihak Polisi meralat bahwa kebanyakan tersangka ditangkap daripada dibunuh.
Berikan Komentar
Berkomentarlah yang sopan dan jangan buang-buang waktu untuk melakukan spam. Terimakasih.
Obrolan Ringan